Hukum Suara.com, Pernyataan kontroversial Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang meremehkan peran pers dan lebih memilih media sosial sebagai kanal komunikasi pemerintah, bak sambaran petir di siang bolong bagi para jurnalis. Gema kekecewaan tak hanya bergaung di Karawang, namun juga memicu gejolak serius di arena politik. Fraksi PDIP DPRD Jawa Barat bahkan sampai melakukan walk out dramatis dari sidang paripurna, sebuah gestur tegas menolak pandangan yang dinilai meremehkan pilar keempat demokrasi ini.
Pernyataan Gubernur Mulyadi, "tidak perlu ada kerja sama dengan pers karena cukup menggunakan media sosial saja," menjadi alarm bahaya bagi kebebasan pers dan transparansi informasi. Di mata jurnalis, pandangan ini adalah pukulan telak terhadap profesi yang mengemban mandat menyebarluaskan informasi, mengedukasi publik, dan menjalankan fungsi kontrol sosial terhadap jalannya pemerintahan.
Para kuli tinta khawatir, preferensi pemerintah terhadap media sosial bisa jadi merupakan upaya terselubung untuk mengendalikan narasi dan informasi yang sampai ke telinga publik. Media sosial, dengan segala kemudahan dan kecepatan penyebarannya, memang menawarkan platform langsung bagi pemerintah untuk berkomunikasi. Namun, di sisi lain, ia juga rentan terhadap manipulasi informasi, penyebaran berita palsu, dan ketiadaan verifikasi yang ketat layaknya praktik jurnalistik profesional.
Dalam ekosistem informasi yang sehat, pers memiliki peran krusial sebagai penjaga gerbang informasi. Melalui verifikasi, investigasi, dan keberimbangan berita, jurnalis memastikan publik mendapatkan informasi yang akurat dan komprehensif. Fungsi kontrol sosial mereka juga tak tergantikan, mengawasi kebijakan dan kinerja pemerintah demi akuntabilitas dan transparansi.
Jika peran pers dikesampingkan dan digantikan sepenuhnya oleh media sosial, maka publik akan kehilangan salah satu mekanisme penting untuk mendapatkan informasi yang teruji dan beragam. Ruang publik berpotensi dipenuhi oleh informasi satu arah, tanpa adanya kritik konstruktif atau investigasi mendalam. Ini bukan hanya mengancam profesi jurnalis, melainkan juga mengancam kesehatan demokrasi itu sendiri.
Kekecewaan yang meluap dari kalangan jurnalis dan reaksi keras dari legislatif di Jawa Barat menjadi sinyal kuat bahwa pernyataan Gubernur Mulyadi bukan sekadar lontaran biasa. Ini adalah isu serius yang menyentuh inti dari bagaimana informasi dikelola dan disebarkan dalam masyarakat demokratis. Di tengah arus informasi yang kian deras dan cepat, peran pers justru semakin krusial untuk memastikan bahwa kebenaran tetap menjadi panduan utama.
Penulis : Chika
Editor : Dewa

